Sabtu, 13 Juni 2015

Makalah Hadis Ahad



BAB I
PENDAHULUAN

Hadis dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab Islam sebagai sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadis dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada berasal melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya, telah terdapat berbagai macam kitab hadis yang sering kali dijumpai keaneka ragaman redaksi (matan hadis) dan sanadnya, karena diantara kolektor hadis tersebut memakai kriteria dan standar masing-masing. Disinilah letak pentingnya pembelajaran hadis agar dapat diketahui bagaimana hadis tersebut diteliti dan lebih dari itu bagaimana meneliti sehingga dapat diketahui tata cara dengan benar pemakaian hadis sebagai dasar amalan.
Jadi dengan adanya studi hadis, umat Islam dapat mengetahui hadis yang Shahih, Hasan, Dha’if dan hadis-hadis palsu. Sebab tidak semua hadis itu boleh diamalkan dan dijadikan sebagai dasar hukum yang baik. Setelah Nabi wafat, banyak orang-orang yang membuat hadis-hadis palsu untuk kepentingan golongannya atau untuk menjatuhkan penguasa. Artinya hadis-hadis diciptakan untuk kepentingan politik semata.
Dengan adanya studi hadis, umat dengan mudah mendapatkan hadis-hadis yang diperlukan sebagai sumber hukum yang sah setelah Al-Qur’an. Begitu juga umat Islam dengan mudah membedakan antara lafaz Al-Quran dengan lafaz hadis, karena sering sekali terjadi akhir-akhir ini yang hadis dikatakan Al-Quran, sebaliknya Al-Quran disebut hadis.
Dalam makalah studi hadis ini penulis akan membahas Hadis Ahad, yang diawali dari pengertian hadis ahad, macam-macam hadis ahad dan contohnya, pendapat ulama tentang hadis ahad dan analisis historis kemunculannya.  Semoga makalah ini bermanfaat buat diri penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.





BAB II
PEMBAHASAN

 A.    Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[1] Menurut istilah ilmu hadis, hadis ahad berarti “Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.”[2]
Ulama lain mendefinisikannya dengan “hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada  qat’i  atau yakin”.[3]
Dari dua definisi di atas ada dua hal yang harus digaris bawahi yaitu: pertama, dari sudut kuantitas periwayatnya, hadis ahad  berarti berada di bawah kuantitas hadis mutawatir, kedua, dari sudut isinya, hadis ahad memberi faedah zhanni bukan qat’i. kedua hal inilah yang membedakannya dengan hadis mutawatir.
Kedua definisi di atas dikemukakan oleh para ulama yang membagi kuantitas hadis kepada dua, yaitu mutawatir danahad. Sedangkan ulama yang membagi kuantitas hadis kepada tiga, yaitu mutawatirmasyhur, dan ahad, memberikan definisi hadis ahad dengan definisi yang berbeda. Menurut mereka, hadis ahad itu, ialah :

ما رواه الواحد أوالإثنان فأكثر مما لم تتوفر فيه شروط المشهور او المتو اتر
Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur, atau hadis mutawatir”.[4]

B.     Macam-macam Hadis Ahad dan Contohnya
Pembagian hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib.

1.    Hadis Masyhur
Kata masyhur dari kata syahara, yasyharu, syahran, yang berarti al-ma’ruf baina an-nas (yang terkenal, atau yang dikenal, atau yang populer di kalangan sesama manusia). Dengan arti kata di atas, maka kata “hadis masyhur”, berarti hadis yang terkenal. Berdasarkan arti kata ini, di antara ulama ada yang memasukan ke dalam hadis masyhur “segala hadis yang populer dalam masyarakat, meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali, dengan tanpa membedakan apakah memenuhi kualitas shahih atau dha’if”.[5]
Kata masyhur ini secara bahasa telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan utuh. Dalam penggunaannya sehari-hari, baik dalam ragam tulis maupun ragam lisan, kata ini digunakan secara baku.
Berdasarkan pendekatan kebahasaan seperti di atas, maka dikalangan para ulama terdapat beberapa macam hadis yang terkenal di kalangan ulama tertentu. Tanpa memperhatikan apakah jumlah kuantitas sanad nya memenuhi syarat ke masyhur annya atau tidak, misalnya hadis yang berbunyi :
نَهَى رَسُوْلُ الله ص م عَنْ بَيْعِ الْغَرَر (رواه المسلم )
“Rasulullah SAW melarang jual-beli yang di dalamny;a terdapat tipu daya”.[6]
Hadis di atas terkenal dikalangan ulama fiqih. Demikian pula hadis yang menjelaskan, bahwa perceraian itu dibenci Allah SWT meskipun hukumnya halal. Hadis ini juga terkenal di kalangan ahli fiqh, yang padahal di kalangan ahli hadis, kualitasnya diperselisihkan.
Secara terminologis, hadis masyhur didefinisikan oleh para ulama dengan beberapa definisi yang agak berbeda-beda, sebagaimana dibawah ini.
Menurut satu definisi, disebutkan sebagai berikut:
 ما له طرق محصورة بأكثر من إثنين ولم يبلغ حد التواتر
“Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang mutawatir.” [7]

Dari definisi di atas dapat dikatakan, bahwa periwayat hadis masyhur jumlahnya dibawah hadis mutawatir. Artinya, jumlah periwayat pada hadis ini banyak, akan tetapi dari jumlah tersebut belum sampai memberikan faidah ilmu dharuri, sehingga kedudukan hadisnya menjadi zhanni. Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas kalangan masyarakat.
Ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Dari sudut kualitasnya, hadis masyhur ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada yang dha’if. Hadis masyhur yang shahih, artinya hadis masyhur yang memenuhi syarat-syarat ke-shahih-annya; Hadis masyhur yang hasan, artinya hadis masyhur yang kualitas periwayat di bawah hadis  masyhur  yang shahih; sedang hadis masyhur yang dha’if, artinya hadis masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau yang kurang salah satu syaratnya dari syarat hadis shahih.
Sebagaimana layaknya hadis ahad, hadis masyhur yang shahih dapat dijadikan hujah. Sebaliknya, hadis masyhuryang dha’if atau yang gair ash-shahih, niscaya tidak dapat dijadikan hujah. Di antara contoh hadis masyhur yang shahih ialah:
من أتى الجمعة فليغتسل (رواه الجماعة)
Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan salat jum’at hendaknya ia mandi[8]


2.    Hadis Aziz
Kata ‘Aziz dari kata ‘azzu, yang berarti qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Bisa juga berasal dari ‘azza, ya ‘azzu yang berarti qawiya atau isytadda (kuat). Arti lainya bisa juga berarti syarif  (mulia atau terhormat) dan mahbub (tercinta). Maka hadis ‘Aziz dari sudut pendekatan kebahasaan, bisa berarti hadis yang mulia, hadis yang kuat, atau hadis yang sedikit, atau yang jarang terjadi.
Secara terminologis, hadis ‘Aziz didefinisikan :
Hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang periwayat diterima dari dua orang pula”.[9]
Dengan definisi di atas, menunjukkan bahwa apabila dalam salah satu thabaqahnya kurang dari dua periwayat hadis tersebut bukan termasuk hadis ‘Aziz. Sebab, jumlah minimal para periwayat untuk hadis ‘Aziz, adalah dua orang. Dengan definisi itu juga menunjukkan, apabila ada satu atau dua thabaqahnya yang memiliki tiga atau empat orang periwayat, hadis tersebut masih termasuk ke dalam kelompok hadis ‘Aziz, jika pendapat thabaqah-thabaqah lainnya hanya terdapat dua orang perawi saja. Sebab hadis ‘Aziz tidak mengharuskan atau mensyaratkan adanya keseimbangan antara thabaqah-thabaqah-nya.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘Aziz terbagi kepada shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian ini tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan kualitas ketiga kategori tersebut. Jika hadis tersebut memenuhi syarat keshahihannya, maka itu berarti hadis ‘Aziz yang shahih. Kemudian, jika kualitas ke dhabith-annya kurang, hadis itu berarti hadis ‘Aziz yang hasan, dan jika syarat-syarat atau salah satu syarat kesahihannya tidak terpenuhi, maka hadis itu berarti termasuk hadis ‘Aziz yang dha’if.

Diantara contoh hadis ‘Aziz, adalah:
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه و والده و ولده والناس أجمعين (رواه بخارى و مسلم)
 “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” (H.R. Bukhari dan Muslim)[10]
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah SAW, kemudian diriwayatkan kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin Suhaib, selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abdul al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudian hadis dari Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Said dan dari Syu’bah diriwayatkan oleh Adam Muhammad bin Ja’far dan juga oleh Yahya bin Said. Adapun hadis dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dari Abdul al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya diriwayatkan oleh Masdad dan dari Ja’far diriwayatkan oleh Ibn al-Mujana dan Ibn Basyar, sampai kepada Bukhari dan Muslim.

3.      Hadis Garib
Kata garib dari garaba, yagrubu, yang menurut bahasa berarti munfarid (menyendiri) atau ba’id an wathanih (jauh dari tanah airnya). Bisa juga berarti asing, pelik, atau aneh. Maka kata hadis garib secara bahasa berarti hadis yang menyendiri atau yang aneh.[11]
Secara terminologis, ulama ahli hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqali mendefinisikan hadis garib, sebagai berikut:
مَا يَتَفَرَّدُ بِرِ وَ ايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian itu terjadi[12]

Dalam pengertian lain disebutkan, sebagai berikut:
مَا اِنْفَرَدَ بِرِ وَايَتِهِ رَاوٍ بِحَيْثُ لَمْ يَرْوِهِ غَيْرُهُ أَوِ اِنْفَرَدَ بِزِيَادَةٍ فِيْ مَتَنَِهِ أَوْ إِسْنَادِهِ
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat, karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan atau sanadnya[13]
Berdasarkan definisi pertama menunjukkan, bahwa penyendirian yang dimaksud dalam hadis garib, ialah penyendirian dalam perawi atau sanadnya. Sedangkan berdasarkan definisi kedua, bahwa penyendirian dalam hadis garib bukan hanya terjadi pada sanad atau perawi, akan tetapi bisa juga terjadi pada matanya. Pada sisi lainnya, sebagaimana disebutkan pada definisi pertama, bahwa penyendirian itu bisa terjadi pada thabaqah mana saja. Suatu hadis jika diriwayatkan oleh banyak orang pada beberapa thabaqahnya, akan tetapi pada salah satu thabaqahnya hanya diriwayatkan oleh satu orang, maka hadis itu pun disebutkan dengan hadis garib.
Tempat-tempat penyendirian dimaksud bisa jadi pada awal, tengah-tengah, atau akhir thabaqahnya. Dengan kata lain, bisa jadi pada thabaqah sahabat, thabaqah tabi’in, thabaqah tabi’ at-tabi’in, atau thabaqah sesudahnya.


 C.    Pendapat Para Ulama tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang hadis ahad, pendapat tersebut adalah:
1.      Segolongan ulama seperti Al-Qasayani, sebagai ulama dhahiriyah dan Ibn Daud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.      Jumhur Ulama Ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberikan faedah dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya
3.      Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.      Sebahagian muhaqqiqih menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqidah.
5.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al Quran.
6.      Ahlu Zhahir (Pengikut Daud Ibn Ali al-Zhahiri) tidak membolehkan mentakhsiskan umum ayat-ayat Al Quran dengan hadis ahad.[14]

Selanjutnya status dan hukum hadis masyur menjadi bagian dari hadis ahad.  Hukum hadis masyur tidak ada hubungannya dengan sahih atau tidaknya suatu hadis, karena diantara hadis masyur terdapat hadis yang mempunyai status sahih, hasan atau dhaif dan bahkan ada maudhu’ (palsu). Akan tetapi, apabila suatu hadis masyur tersebut berstatus sahih, maka hadis masyur itu hukumnya lebih dari pada hadis ‘Aziz dan garib.
Di kalangan Ulama Hanafiyah, hadits masyur hukumnya adalah zhann, yaitu mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena kedudukannya tidak sampai pada derajat mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang menolak atau tidak beramal dengannya.
Selain hadis masyur yang dikenal secara khusus di kalangan ulama hadis, sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya diatas dan disebut dengan masyur al-ishthilahi, juga terdapat hadis masyur yang dikenal di kalangan ulama lain selain ulama hadis dan di kalangan umat secara umum. Hadis masyur dalam bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-masyur gaira isthilahi yang mencakup hadis-hadis yang sanadnya terdiri dari satu orang periwayat atau lebih pada setiap tingkatannya atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.

Hadis masyur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. Contohnya adalah hadis yang berasal dari Anas r.a. dia berkata :
Artinya :  “Muhammad ibn Al-Fadil menceritakan Muhammad ibn Ja’far menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Yusuf menceritakan kepada kami An-Nadir ibn ‘Asy’ast menceritakan bahwa sanya Rasulullah SAW bersabda : tidak akan masuk surga kecuali orang yang mempunyai rasa kasih sayang. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih sayang . Beliau bersabda : (yang dimaksud) bukanlah kasih sayang   salah seorang diantara kamu terhadap dirinya sendiri saja, akan tetapi rasa kasih sayang terhadap semua manusia. Dan tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap semua manusia dan tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap mereka kecuali Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)[15]



 
[1]Muhammad ash-Shabbaq, Al-Hadits an-Nabawi; Mushthalahuh Balagatuh, ‘Ulumuh, Khutub, Mansyurat al-Maktab al-Islami, t.t., 1392H/1972M, h.21
[2]Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushalah al-Hadits, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, Beirut, t.t. h. 22
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits al-Kitab wa as-Sunnah min ‘Ilmi, Mahfud li Jami’ah, Damsyik, h. 17-18
[4] Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuh wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989 M/1409 H, h. 302
[5] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996, h. 137
[6] Muslim, Abu al-Husain bin al Hajjaj  al-Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid I,  Dar al-Fikr, Bairut, 1412 H/1992 M, h. 3
[7] Nur ad-Din ‘Atar, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadits.,Dar al-Fikr, Beirut, 1979, h. 409
[8] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  Matan al-Bukhari bihasyiah as-Sindi, Jilid II, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nubhan  wa Auladuh, h. 2,3,5 dan Muslim, Jilid III, h.2
[9] Ibnu Hajar al-Asqalani, Nubhah al-Fikr, h. 32
[10] Bukhari, jilid I, h. 8 dan Muslim, Jilid I, h. 49
[11] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadisop.cit, h. 145
[12] Ibn Hajar al-Asqalani, Nuhbah al-Fikr,
[13] Muhammad bin Alwi al-Maliki,………., h. 91
[14] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis
[15] Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Hadist ahad  yakni hadist yang dilihat dari sisi penutur dan periwayatnya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah periwayat dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
 Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.
Di kalangan Ulama Hanafiyah. Hadis Ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu mendekati         yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi karena kedudukannya tidak sampai      kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang menolaknya atau tidak beramal dengannya.
menyangkut hal-hal yang bersifat umum, Imam asy- Syafi’I dan Para Ulama Ushul berpendapat bahwa boleh beramal selama sanad-nya shahih.



Saran
            Kontribusi positif terhadap pengembangan makalah sangat penulis harapkan.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist.  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).

Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).

Hassan, A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun, 1966).

Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993).

Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press).

Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).

Abdul Majid Khon.ulumul Hadis.( Jakarta: amzah, 2007 )

Munzier suparta. Ilmu hadis. ( Jakarta: Raja Grafindo persada, 2001 )

Indri. Studi Hadis. ( Jakarta : kencana, 2010 )

Zarkasih.studi hadis. (  Jakarta : suska press, 2012 )






Tidak ada komentar:

Posting Komentar