Sabtu, 13 Juni 2015

Penyakit Bovine Viral Diarrhea



BOVINE VIRAL DIARRHEA

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang mempunyai dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari subklinis sampai kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut menimbulkan gejala diare, pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara transplasenta menyebabkan aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi persisten pada pedet baru lahir.
.
2.1 Etiologi
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) disebabkan oleh Bovine Viral Diarrhea Virus genus Pestivirus dari famili Flaviviridae.
Virus BVD adalah virus yang menginfeksi sapi maupun biri-biri. Virus ini merupakan RNA virus kecil beramplop yang diklasifikasikan sebagai pestivirus bersama dengan Border Disease Virus, yang juga menginfeksi biri-biri, serta Classical Swine Fever (Hog Cholera). Ada dua spesies berbeda dari virus BVD yang telah ditemukan berdasarkan genotipenya : BVDV-1 dan BVDV-2. BVDV-1 terdistribusi diseluruh dunia dan memiliki beberapa sub tipe (BVDV-1a, BVDV-1b dan 2a). BVDV-2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa, walaupun sangat jarang ditemukan diluar Amerika Utara ( Merk, 2011)
Virus BVD dapat diklasifikasikan dalam biotipe sebagai cytopathic(CP) dan non cytopathic (NCP) dalam hal dapat diamati atau tidak dapat diamati perubahan sitopatik pada biakan sel yang terinfeksi ( Baker, 1995 ).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Virus BVD telah menyebar ke seluruh dunia. Penularan, prevalensi antibodi yang tinggi dan frekuensi kejadian subklinis atau infeksi yang sulit didiagnosis menghasilkan tingginya prevalensi antibodi terhadap BVD. Prevalensi antibodi dapat mencapai 90% jika program vaksinasi dilaksanakan pada daerah tersebut. Meskipun semua umur ternak rentan terhadap penyakit BVD ini, namun pada umur 6 bulan sampai 2 tahun yang lebih menunjukan gejala klinis. Masa inkubasi yang tidak menentu dan adanya infeksi persisten yang kronis menambah kompleksnya kejadian penyakit ( Kahrs,1981 ).
Hewan yang terinfeksi secara persisten oleh NCP BVDV akan menjadi sumber infeksi terbesar dalam suatu kelompok ternak yang terinfeksi secara endemis. Persisten infeksi oleh NCP BVDV terjadi melalui transplasenta pada kebuntingan 4 bulan pertama. Anak sapi yang lahir akan menjadi carier dan bersifat imunotolerans. Jika infeksi virus BVD terjadi pada kebuntingan tua akan menyebabkab abortus, kelainan kongenital, lahir normal namun punya antibodi BVDV. Prevalensi persisten infeksi pada ternak umur ≤ 1 thn sekitar 1-2%. Virus BVD dapat ditemukan pada cairan sekresi dan ekresi dari hewan yang terinfeksi secara persisten. Gangguan reproduksi dan gejala klinis sering terlihat pada ternak setelah terinfeksi oleh PI (persisten infeksi). BVDV dapat disebarkan oleh gigitan serangga, cairan muntahan, dan semen.

2.3 PENYEBARAN PENYAKIT
Penularan melalui kontak langsung dengan sapi yang terinfeksi kepada sapi lainnya. Kejadian kasus klinis diantara sapi muda (4 – 24 bulan) mungkin merupakan refleksi banyaknya infeksi dan ditandai dengan adanya antibodi yang terkandung dalam kolostrum ataupun kepekaan diantara umur sapi. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada infeksi virus BVD ataupun manifestasi klinis antar breed ataupun perbedaan kelamin. Infeksi terjadi sangat cepat antar sapi yang peka melalui kontak langsung, tetapi tanda klinis yang terlihat bertolak belakang dengan masa inkubasi yang tidak teratur dan interval yang bervariasi antara infeksi maternal dan abortus ataupun anak sapi yang tidak normal (Kahrs, 1981).

2.4 PATOGENESIS
Seperti halnya penyakit lain patogenesis virus BVDV tergantung pada interaksi antara host, agen, dan lingkungan. Terdapat berbagai temuan klinis berdasarkan faktor-faktor host dan virulensi dari bentuk khusus dari BVDV yang terlibat. Secara umum, kompleks BVDV dapat mengakibatkan diare subklinis, penyakit mukosa, perakut fatal diare, immunosuppresi, trombositopenia dan hemoragik, kegagalan reproduksi dan kelainan bawaan dari pedet. Gejala klinis dari infeksi BVDV tergantung pada faktor hostnya (sapi) seperti umur hewan, usia janin saat terinfeksi secara transplasenta (usia kebuntingan), dan status kekebalan (pasif karena kolostrum atau aktif karena vaksinasi/paparan sebelumnya) (Radostits, 2007). Secara mudah patogenesis BVD dapat dibahas dalam dua kategori yaitu imunokompeten ternak yang tidak bunting dan imunokompeten pada ternak yang bunting.
  1. Imunokompeten ternak yang tidak bunting
BVDV subklinis yang umumnya terjadi dipeternakan, karena penurunan antibodi induk. Infeksi jarang berlangsung lebih dari beberapa hari dan ditandai dengan depresi, diare ringan, dan leukopenia sementara.
Peracut BVD adalah bentuk parah dan sangat fatal dari penyakit yang disebabkan oleh NCP BVDV-2, namun jarang terjadi. Bentuk penyakit ini dapat mengakibatkan trombositopenia dan sindrom hemoragik, hemoragi, epistaksis, dan pendarahan abnormal. Sapi dengan BVD lebih rentan terhadap rhinotracheitis, penyakit pernapasan sapi, dan enteritis.
  1. Imunokompeten ternak bunting
BVDV dapat menginfeksi janin setiap saat, tapi hasilnya bervariasi tergantung pada strain virus dan usia kebuntingan. Aborsi dapat terjadi selama spesifik periode kebuntingan (gambar 2):
  • Infeksi selama siklus entrus bisa mengakibatkan infertilitas atau kematian embrio dini. Jika terjadi sebelum inseminasi penurunan konsepsi terjadi karena penundaan atau pengurangan ovulasi. Inseminasi dengan semen yang terinfeksi BVDV akan menghasilkan tingkat konsepsi yang rendah.
  • Infeksi pada paruh pertama kebuntingan dapat mengakibatkan aborsi atau infeksi persisten pedet.
  • Infeksi pada paruh kedua kebuntingan bisa mengakibatkan aborsi, bayi lahir mati, atau sapi lemah, tapi tidak menyebabkan infeksi persisten pedet.
Infeksi persisten (PI) pedet terjadi ketika janin terinfeksi BVDV selama paruh pertama kebuntingan (gambar.3). Pada masa tersebut sistem kekebalan janin belum cukup berkembang untuk merespon infeksi BVDV. Janin kemungkinan aborsi tetapi jika bertahan kemungkinan akan berkembang menjadi pedet PI. Beberapa pedet PI dapat tumbuh jelek sementara yang lain dapat tumbuh sehat dan baik, sehingga tidak mungkin mendeteksi hewan PI secara visual. Sebagian besar hewan PI mati pada umur 2 tahun, tetapi beberapa akan bertahan beberapa tahun dan carier BVDV sepanjang hidup dan menjadi ancaman bagi kesehatan ternak.



2.5 GEJALA KLINIS
Infeksi subklinis adalah bentuk dominan dari penyakit yang menunjukan morbiditas tinggi tapi tingkat kematian rendah. Ditandai dengan demam ringan, diare ringan, leukopenia, dan inappetence. Bentuk infeksi BVDV akan sering tidak terdiagnosa karena tanda-tanda sangat ringan dan hewan akan sembuh dengan cepat setelah beberapa hari.
Penyakit mukosa akut dapat terjadi dalam kawanan BVDV positif dalam 5-25% dari hewan berumur 6-24 bulan dengan morbiditas 45% dengan tingkat mortalitas sampai 100%. Hewan yang terinfeksi mengalami depresi, anoreksi, ada leleran mulut, meningkatkan denyut jantung dan pernapasan, diare busuk bercampur darah, dan lendir. Kejadian mukosa akut 80% menunjukan erosi di rongga mulut dan moncong yang berkembang menjadi berwarna abu-abu dan terjadi kematian jaringan. Keluar leleran fibrous dari hidung, terjadi kepincangan dan kematian karena dehidrasi yang biasanya terjadi dalam 5-7 hari setelah tanda-tanda awal muncul.
Penyakit mukosa kronis berkembang dari bentuk penyakit mukosa akut. Akan menunjukan gejala diare yang sementara, kekurusan, kelainan bentuk kuku, dan lesi erosif dari rongga mulut dan kulit. Hewan dengan mukosa kronis dapat bertahan sampai 18 bulan.
Diare virus perakut adalah penyakit yang sangat fatal yang dilaporkan sebagai wabah progresif yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Hewan menderita depresi berat, anoreksia, demam tinggi, diare air, dan penurunan produksi susu. Umumnya aborsi. Hal ini dapat terjadi pada segala umur ternak tetapi kematian tertinggi pada hewan muda, dengan kematian beberapa hari setelah timbulnya gejala.
Trombositopenia dan penyakit hemoragik ditandai dengan diare berdarah, perdarahan pada mukosa mata, epistaksis, perdarahan karena gigitan serangga. Sapi dapat menunjukan gejala demam, dehidrasi dan rumen stasis. Kematian diperkirakan 25%.
Konsekuensi reproduksi dipandang sebagai kegagalan pembuahan, aborsi dan mummifikasi, kelahiran prematur, lahir mati, cacat bawaan, pertumbuhan terhambat, dan menjadi pedet PI. Tingkat infeksi pada janin dapat mencapai 21% (Radostits,2007).

2.6 DIAGNOSA
Diagnosa sementara penyakit BVDV berdasarkan dari anamnesa, gejala klinis, dan lesi yang muncul. Hasil laboratorium dapat mendukung diagnosa ketika gejala klinis dan lesi yang muncul sangat minim. Hasil laboratorium juga dapat mendukung penentuan diagnosa yaitu penyakit mukosa akut atau BVD akut karena penyakit ini mirip dengan Rinderpest dan Malignant Catarrhal Fever (Merk, 2011).
Laboratorium dapat mengkonfirmasi BVDV menggunakan PCR, imunohistokimia, serologi, isolasi virus, dan ELISA antibodi. Jenis pengujian dan sampel yang akan digunakan tergantung pada sejarah penyakit/anamnesa, status vaksinasi, umur hewan, biaya pengujian, dan alasan untuk melakukan pengujian.
Gold standar untuk mendiagnosa BVDV adalah isolasi virus. Hal ini dapat dicoba dengan menggunakan swab hidung atau mata, semen, jaringan usus, limpa atau sebagai besar jaringan lain, dan sampel darah. Darah adalah yang terbaik pada hewan hidup.

2.7 PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
Pengobatan yang dapat dilakukan hanya bersifat supportif saja karena penyakit ini disebabkan oleh virus. Pencegahan dan pengendalian merupakan hal penting yang harus dilaksanakan.
Pengendalian BVDV saat ini harus menggabungkan kombinasi dari biosekuriti, pengujian dan pemusnahan hewan PI serta vaksinasi. Berbagai pilihan dapat dilakukan untuk manajemen BVD ketika infeksi dalam suatu kelompok ternak telah ditetapkan yaitu :
  1. Vaksinasi dari sapi penderita. Hewan yang telah divaksin diberikan booster vaksin tunggal setiap tahun.
  2. Tindakan pencegahan melalui biosekuriti agar tidak terbawa virus ke peternakan oleh pembawa.
  3. Melakukan pengujian dengan pemeriksaan darah pada semua kelahiran pedet sekitar 3 bulan setelah terlihat hewan pertama yang sakit BVD. Dan terus melakukan pengujian sampai 9 bulan setelah terlihat hewan terakhir yang sakit karena BVD.
  4. Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap bulu, makanan, dan air.
  5. Tempat tinggal pedet dibuat sendiri.
  6. Pengujian hewan baru untuk infeksi persisten.
  7. Pedet yang baru lahir diberi kolostrum secara maksimal.
  8. Kurangi stress pada sapi yang bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit lain, kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan kandang dan kualitas air yang jelek.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah tersebarnya penyakit BVD adalah :
  1. Melakukan program vaksinasi BVD pada setiap ternak yang masuk atau yang baru lahir.
  2. Tidak menjual sapi dari peternakan yang terjangkit BVD.
  3. Memberikan informasi kepada calon pembeli terhadap terjangkitnya penyakit BVD ini. Jika ternak bunting yang terjangkit berikan penjelasan agar memeriksakan pedetnya jika telah lahir untuk melihat pedet menjadi carier terhadap BVD. Jika menjadi carier pedet harus dimusnahkan.
  4. Pengguguran setelah terinfeksi BVD.
  5. Hewan yang terinfeksi dan hewan lain yang kontak dengan hewan tersebut diisolasi.
  6. Sanitasi dengan melakukan desinfeksi kandang secara rutin dan dilakukan dengan kombinasi sistem all in, all out.
  7. Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi. Hanya membawa dari peternakan yang bebas BVD.
  8. Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi yang efektif.
  9. Menghindari pembelian dari kandang-kandang penjualan/pengepul.
  10. Isolasi hewan baru selama 30 hari sebelum kontak dengan hewan dalam peternakan.
2.8 KEJADIAN DI INDONESIA
Berdasarkan laporan Balai Besar Penelitian Veteriner tahun 2009, di Indonesia prevalensi penyakit pada sapi potong adalah 28%, sapi perah 77%, sapi BIB 37%, dan sapi BET 45%.
Kasus diare ganas terjadi juga pada Balai Inseminasi Buatan dan sapi pembibitan di Indonesia. Kejadian diare ganas oleh virus BVD ada di beberapa daerah di Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ( Darmadi, 1989).
Wiyono et al (1989) menyatakan dalam pengamatannya ada 70 ekor sapi mati di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sedangkan dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati. Keseluruhan sapi bibit tersebut dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina ada 70 ekor dengan total kematian dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor (19,4%). Gejala yang diamati adalah demam, diare, erosi pada selaput lendir saluran pencernaan, opasitas kornea, dan infeksi sekunder. Dari 15 ekor sapi yang sakit, diamati nafsu makan yang menurun, lemah dan lesu, dan kelainan pada mata berupa konjungtivitis, keratitis, opasitas kornea, dan hiperlakrimasi. Sedangkan gejala pada saluran pencernaan adalah lesi ringan atau erosi pada selaput lendir lidah dan mencret.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Baker, J. 1995. The Clinical Manifestation of Bovine Viral Diarrhea Infection. Vet Clin North Am Food Anim Pract. 13(3):425-54.
  2. Darmadi, P. 1989. Kejadian Diare Ganas pada Sapi. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
  3. Kahrs, R.F. 1981. Viral Diseases of Cattle. 1 st edition. The IOWA State University Press. Ames. IOWA.
  4. Merk Veteriner Manual. 2001; Merck Sharp & Dohme Corp. Asubsidiary of Merck & Co..Inc. Whitehouse Station, NJ USA.
  5. Radostitis, O.M. 2007. New Concepts in Patogenesis, Diagnosis and Control of Diseases Caused by The Bovine Viral Diarrhea Virus. Can. Vet J.
  6. Sudarisman. 2011. Bovine Viral Diarrhea pada Sapi di Indonesia dan Permasalahannya. Wartazoa Vol 21 No1.
  7. Wiyono, A., P. Ronohardjo, R.J. Graydon and P.W.Daniels. 1989. Diare Ganas Sapi. Kejadian Penyakit pada Sapi Bali Bibit Asal Sulawesi Selatan yang Baru Tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan XXI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar