Sabtu, 13 Juni 2015

Teknologi Pascapanen dan Tuntutan Keamanan Pangan




            Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen/penanganan dan pengolahan hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (ABUBAKAR, 1994).
Disamping produk utama (daging, susu), hasil ikutan dari ternak kambing seperti kulit dan tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang cukup tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu memerlukan penanganan pasca panen yang baik dan tepat sehingga mutu hasil ternak tetap terjaga dan aman dikonsumsi.
Menutut UU tentang pangan yaitu No.7 tahun 1996, pengertian keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada dasarnya keamanan pangan (food safety) merupakan hal yang komplek dan berkaitan erat dengan aspek toksisitas mikrobiologik, kimia, status gizi dan ketentraman batin. Masalah keamanan pangan ini kondisinya terus berkembang, bersifat dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan, kemajuan Iptek dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia.
Untuk mendapatkan jaminan mutu dan keamanan hasil ternak sebagai bahan pangan, maka para pelaku yang terlibat dalam mata rantai penyediaan hasil ternak mulai dari produsen hingga konsumen akhir, perlu menyadari dan memahami tentang pentingnya mutu dan keamanan hasil ternak untuk meningkatkan daya saing pasar dalam maupun luar negeri pada era globalisasi, dan untuk memperoleh hasil ternak yang berkualitas dan aman perlu diterapkan upaya-upaya pengamanan di setiap mata rantai produksi dengan penerapan konsep Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP).
Konsep HACCP didefinisikan sebagai suatu metoda pendekatan kepada identifikasi dan penetapan “hazard” serta resiko yang ditimbulkan berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan penggunaan makanan oleh konsumen dengan maksud untuk menetapkan pengawasannya sehingga diperoleh produk yang aman dan sehat. Pengertian “hazard” adalah merupakan titik kerawanan terhadap pencemaran baik yang sifatnya mikrobiologi, kimia maupun fisik yang secara potensial dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Critical Control Point (CCP) merupakan langkah atau prosedur dimana tindak pengawasan dilaksanakan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil “hazard” sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Dengan menitik beratkan pada pengawasan, faktor kunci yang dapat mempengaruhi keamanan dan kualitas pangan, maka petugas pengawas, produsen maupun konsumen dapat menjamin terhadap tingkat keamanan pangan (ANONIMOUS, 1994).
Prinsip pelaksanaan HACCP adalah, (1) mengidentifikasi “hazard” dan memperkirakan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkah-langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. (2) menetapkan critical control point (CCP) atau titik tindak pengawasan yang diperlukan untuk pengendalian hazard. Ada dua tipe titik tindak pengawasan yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan produk dan titik tindak yang hanya dapat memperkecil kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran. (3) menetapkan kriteria/ pengawasan yang menunjukkan pengawasan pada CCP yang ditetapkan tersebut telah berjalan sesuai prosedur. (4) menetapkan dan menerapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, misalnya, pemeriksaan, fisik/kimia, organoleptik, biologis dan pencacatan terhadap faktor-faktor penting lainnya yang diperlukan untuk kontrol. (5) menetapkan tindakan yang perlu diambil apabila ternyata menurut monitoring menunjukkan bahwa kriteria yang ditetapkan untuk mengawasi CCP tidak sebagaimana mestinya. (6) verifikasi kembali dengan menggunakan informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP tersebut dapat dilaksanakan oleh bagian “Quality Controle” atau pihak lain sebagai unsur pengawas. (7) menetapkan cara pencatatan dan dokumentasi (ANONIMOUS, 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar