Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen/penanganan dan pengolahan hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (ABUBAKAR, 1994).
Disamping
produk utama (daging, susu), hasil ikutan dari ternak kambing seperti kulit dan
tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan
nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah
rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang cukup
tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu memerlukan
penanganan pasca panen yang baik dan tepat sehingga mutu hasil ternak tetap
terjaga dan aman dikonsumsi.
Menutut
UU tentang pangan yaitu No.7 tahun 1996, pengertian keamanan pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan
dan membahayakan kesehatan manusia. Pada dasarnya keamanan pangan (food safety)
merupakan hal yang komplek dan berkaitan erat dengan aspek toksisitas
mikrobiologik, kimia, status gizi dan ketentraman batin. Masalah keamanan
pangan ini kondisinya terus berkembang, bersifat dinamis seiring dengan
berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan,
kemajuan Iptek dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia.
Untuk
mendapatkan jaminan mutu dan keamanan hasil ternak sebagai bahan pangan, maka
para pelaku yang terlibat dalam mata rantai penyediaan hasil ternak mulai dari produsen
hingga konsumen akhir, perlu menyadari dan memahami tentang pentingnya mutu dan
keamanan hasil ternak untuk meningkatkan daya saing pasar dalam maupun luar
negeri pada era globalisasi, dan untuk memperoleh hasil ternak yang berkualitas
dan aman perlu diterapkan upaya-upaya pengamanan di setiap mata rantai produksi
dengan penerapan konsep Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP).
Konsep
HACCP didefinisikan sebagai suatu metoda pendekatan kepada identifikasi dan
penetapan “hazard” serta resiko yang ditimbulkan berkaitan dengan proses
produksi, distribusi dan penggunaan makanan oleh konsumen dengan maksud untuk
menetapkan pengawasannya sehingga diperoleh produk yang aman dan sehat.
Pengertian “hazard” adalah merupakan titik kerawanan terhadap pencemaran baik
yang sifatnya mikrobiologi, kimia maupun fisik yang secara potensial dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Critical
Control Point (CCP) merupakan langkah atau prosedur dimana tindak pengawasan
dilaksanakan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil “hazard” sampai
pada tingkat yang tidak membahayakan. Dengan menitik beratkan pada pengawasan,
faktor kunci yang dapat mempengaruhi keamanan dan kualitas pangan, maka petugas
pengawas, produsen maupun konsumen dapat menjamin terhadap tingkat keamanan
pangan (ANONIMOUS, 1994).
Prinsip
pelaksanaan HACCP adalah, (1) mengidentifikasi “hazard” dan memperkirakan
kemungkinan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan
serta menetapkan langkah-langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak
membahayakan. (2) menetapkan critical control point (CCP) atau titik tindak
pengawasan yang diperlukan untuk pengendalian hazard. Ada dua tipe titik tindak
pengawasan yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan produk dan titik tindak yang
hanya dapat memperkecil kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran. (3)
menetapkan kriteria/ pengawasan yang menunjukkan pengawasan pada CCP yang
ditetapkan tersebut telah berjalan sesuai prosedur. (4) menetapkan dan
menerapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, misalnya, pemeriksaan,
fisik/kimia, organoleptik, biologis dan pencacatan terhadap faktor-faktor
penting lainnya yang diperlukan untuk kontrol. (5) menetapkan tindakan yang
perlu diambil apabila ternyata menurut monitoring menunjukkan bahwa kriteria
yang ditetapkan untuk mengawasi CCP tidak sebagaimana mestinya. (6) verifikasi
kembali dengan menggunakan informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan
bahwa HACCP tersebut dapat dilaksanakan oleh bagian “Quality Controle” atau
pihak lain sebagai unsur pengawas. (7) menetapkan cara pencatatan dan
dokumentasi (ANONIMOUS, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar