I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia membutuhkan makanan untuk
melakukan dan melaksanakan semua aktivitasnya. Berbagai macam makanan
dikonsumsi oleh manusia. Mulai dari makanan yang berasal dari bahan alami dan
langsung dimasak sampai makanan yang harus diolah oleh pabrik terlebih dahulu.
Banyak makanan yang memanfaatkan mikroba untuk proses pembutannya entah itu
bakteri maupun jamur. Kebanyakan, makanan produk olahan menggunakan mikroba
sebagai organisme yang memfermentasi. Jadi apabila, selama ini kita selalu
menganggap bahwa mikroba identik dengan kata bahaya dan penyakit, hal tersebut
salah.
Karena banyak mikroba yang berguna
sebagai bahan pembuatan makanan berfermentasi. Beberapa makanan yang
memanfatkan mikroba adalah tempe, yogurt, susu, nata de coco, tape dan masih
banyak lagi. Oleh karena banyak sekali makanan yang memanfaatkan mikroba dalam
pembuatannya, maka terdapat ilmu yang khusus untuk mempelajari mikroba-mikroba
yang bermanfaat dalam pembuatan makanan olahan, yaitu mikrobiologi pangan.
Mikrobiologi pangan (food microbiology)
adalah salah satu cabang dari mikrobiologi yang mempelajari peranan mikrobia,
baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, pada rantai produksi makanan
sejak dari pemanenan/ penangkapan/ pemotongan, penanganan, penyimpanan,
pengolahan, distribusi, pemasaran, penghidangan sampai siap dikonsumsi.
Sejarah
mikrobiologi pangan sebenarnya bersamaan dengan kehadiran manusia di muka
bumi namun sangat sulit ditentukan titik mulanya secara pasti. Sejak manusia
dapat memproduksi makanan sebenarnya juga mulai dipelajari kerusakan makanan
dan timbulnya keracunan makanan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa masalah,
yaitu
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan?
2. Bagaimanakah peran positif
mikroba dalam mikrobiologi pangan ?
3. Bagaimanakah
peran negatif mikroba dalam mikrobiologi pangan?
1.3. Tujuan
Dalam makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan,
yaitu
1. Untuk mengetahui factor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan.
2. Untuk mengetahui peran positif
mikroba dalam mikrobiologi pangan.
3. Untuk mengetahui peran negatif
mikroba dalam mikrobiologi pangan.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Faktor Pertumbuhan Mikroba pada
Bahan Pangan
Pertumbuhan
mikrobia pada bahan pangan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik adalah faktor-faktor yang terdapat pada bahan pangan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroba, baik memacu maupun menghambat pertumbuhan mikrobia pada
bahan pangan tersebut. Contoh faktor intrinsik adalah pH, aktivitas air (aw),
potensial oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi, senyawa antimikrobia, dan
struktur biologis. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang
berasal dari luar bahan pangan, baik dari lingkungan penyimpanan, yang dapat
mempengaruhi bahan pangan dan pertumbuhan mikrobia. Contoh faktor ekstrinsik
adalah suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative humidity)
lingkungan, dan komposisi gas.
Faktor ekstrinsik dapat dimanfaatkan untuk mengontrol
pertumbuhan mikroorganisme yang kurang menguntungkan. Menurut Nani (2010), Suhu
penyimpanan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu bahan pangan tersebut. Suhu
penyimpanan yang tepat dapat menghambat kerusakan bahan pangan secara
mikrobiologis dan enzimatis. Penyimpanan bahan pangan pada suhu refrigerator
atau di bawahnya tidak selalu merupakan cara terbaik untuk menghindari proses
kerusakan bahan pangan. Sebagai contoh, buah pisang lebih baik disimpan pada
suhu 13 – 17°C dari pada suhu 5 – 7°C. Sebagian besar sayuran sebaiknya
disimpan pada suhu sekitar 10°C seperti kentang, seledri, kubis, dan lain-lain.
Kelembaban relatif lingkungan penyimpanan bahan pangan
merupakan hal yang sangat penting dari segi aw bahan pangan dan pertumbuhan
mikrobia pada permukaan bahan pangan. Bila bahan pangan dengan aw rendah
disimpan pada lingkungan dengan RH tinggi, maka bahan pangan tersebut akan
menyerap uap air yang terdapat pada lingkungan sehingga tercapai kesetimbangan.
Demikian juga bila bahan pangan dengan aw tinggi disimpan pada lingkungan
dengan RH rendah. Ada hubungan antara RH dan suhu, yaitu semakin tinggi suhu,
maka RH semakin rendah, dan sebaliknya, semakin rendah suhu, RH semakin tinggi.
Bahan pangan yang disimpan pada RH rendah dapat
mengalami kerusakan pada permukaannya karena jamur, yeast dan bakteri tertentu.
Misalnya daging utuh yang tidak dikemas dengan rapat dan disimpan di
refrigerator dapat mengalami kerusakan pada permukaan karena RH refrigerator
yang tinggi dan mikrobia aerob. Hal ini dapat dicegah dengan cara pengemasan
yang tepat dan mengatur komposisi gas tanpa harus menurunkan RH lingkungan.
Udara
mengandung beberapa jenis gas seperti O2, CO2, N2, H2, O3 dan lain-lain.
Keberadaan dan konsentrasi gas di udara dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikrobia. Mikrobia yang membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya disebut aerob,
sedangkan mikrobia yang tidak membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya dan dapat
menggunakan CO2 disebut obligat anaerob. Ada juga mikrobia yang hanya sedikit
membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya, yang disebut fakultatif anaerob. Prinsip
ini mendasari pada pengemasan bahan pangan dengan cara atmosfer terkendali (Controlled Atmosphere Packaging) dan modifikasi
atmosfer (modified atmosphere).
2.2. Peran Positif Mikroba dalam Mikrobiologi Pangan
Penggunaan mikroorganisme untuk menghasilkan bahan-bahan tertentu telah
diketahui semenjak beberapa abad yang lalu, terutama penggunaan beberapa jenis
khamir dalam industri alkohol, pembuatan roti, keju dan sebagainya. Berikut ini
akan disajikan cara-cara pembuatan makanan fermentasi secara singkat untuk
menjelaskan peranan mikroorganisme yang memberikan keuntungan bagi kehidupan
manusia.
a). Pembuatan Oncom
Oncom merupakan produk fermentasi kapang atau jamur
dengan bahan utama berupa limbah yang antara lain adalah: bungkil kacang tanah,
ampas tahu, ampas singkong dan ampas kelapa. Untuk pembuatan oncom dapat
dipergunakan kapang tempe atau jamur dengan bahan utama yaitu Rhizopus oligosporus yang dapat
menghasilkan oncom berwarna hitam. Pada umumnya, lebih digemari yaitu kapang Neurospora sitophila yang dapat
menghasilkan oncom kuning kemerahan (jingga). Selama proses pembuatan oncom, Neurospora sitophila berperan untuk
menguraikan pati, protein, dan lemak dengan pembentukan alcohol dari berbagai
eter. Nilai gizi dari oncom sangat tergantung dari bahan mentah yang
dipergunakan (Tarigan, 1988).
b). Pembuatan
Tempe
Tempe merupakan salah satu contoh makanan fermentasi
yang kaya akan protein, mudah memperolehnya dengan menggunakan Rhizopus didalam proses pembuatannya.
Peranan mikroba ini yaitu akan menyebabkan adanya perubahan kimia pada protein,
lemak dan karbohidrat, sehingga tempe lebih mudah dicerna dari kedelai itu
sendiri, serta protein yang larut meningkat menjadi 3 atau 4 kali.
Dalam pembutan tempe perlu memperhatikan pertumbuhan
kapang yang dipengaruhi oleh factor luar yaitu oksigen, uap air, suhu dan pH.
Untuk tumbuh dengan cepat kapang membutuhkan jumlah oksigen yang cukup. Selain
itu, saat pembuatan tempe juga perlu memperhatikan kadar uap air. Uap air yang
berlebihan akan menghambat difusi oksigen ke dalam kedelai sehingga dapat
menghambat pertumbuhan kapang. Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraph sebelumnya
bahawa kapang yang terlibat dalam proses pembuatan tempe ini adalah Rhizopus sp. Jenis kapang yang dapat
menghasilkan tempe kedelai yang baik yaitu Rhizopus
oryzae dan Rhizopus arrhizus,
sedangkan untuk tempe gandum adalah Rhizopus
oligosporus.
Selama proses pembuatan tempe terjadi hidrolisis atau
pemecahan dari komponen kedelai sepertiprotein dan lemak serta terjadi
peningkatan kadar vitamin B (Tarigan, 1988).
c). Pembuatan
Kecap
Kehidupan dari mikroorganisme ada yang bersifat
parasit dan ada pula yang bersifat menguntungkan bagi kehidupan manusia, yang
termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme yang berperan dalam proses pembuatan
kecap. Mikroorganisme yang berguna dalam proses pembuatan kecap adalah jenis
kapanng: Aspergilus oryzae, Aspergilus
wentii dan Monilia sitophia
(Tarigan, 1988).
d). Pembuatan
Tape
Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi
dengan bahan utama ketan ataupun singkong dan ragi sebagai sumber mikrobanya.
Menurut Dwidjoseputro (1989) ragi untuk tape merupakan populasi campuran yang
terdiri atas spesies-spesies genus Aspergillus,
Saccharomyces, Candida, Hansenula, dan tidak ketinggalan Acetobacter.
Aspergillus dapat
menyederhanakan amilum, sedangn Saccharomyces,
Candida dan Hansenula dapat
menguraikan gula menjadi alkoholdan bermacam-macam zat organic lainnya. Acetobacter dapat merombak alcohol
menjadi asam. Bahan utama dari tape ini merupakan bahan yang kaya akan amilum.
Peran kapang dalam dalam proses tersebut yaitu
menghasilkan enzim yang mampu merombak amilum menjadi gula. Gula ini kemudian
dirombak lagi oleh enzim yang dihasilkan oleh yeast menjadi alcohol yang dalam
proses berikutnya akan menjadi asam karena kegiatan enzim yang dihasilkan
bakteri. Jadi proses perombakan molekul-molekul zat yang ada pada bahan baku
menjadi hasil akhir terutama disebabkan oleh aktivitas-aktivitas mikroba
tersebut di atas. Aktivitas yang dilakukan mikroba tersebut dapat dinamakan
fermentasi. Fermentasi yang terjadi dalam proses pembuatan tape tidak memerlukan
oksigen sehingga fermentasi ini disebut fermentasi anaerob.
e). Pembuatan
Terasi
Terasi dapat dibuat dari ikan atau dari rebon melalui
proses fermentasi dengan mengikutsertakan aktivitas bakteri yang melakukan
reaksi-reaksi enzimatis untuk merombak subtract menjadi zat laian yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya proses pembuatan terasi ini adalah
proses fermentasi yang menggunakan bakteri yang tahan garam (bakteri
halophilik), atau oleh aktivitas enzim yang menyebabkan terjadinya proses
autolysis. Akibat perubahan kimia yang terjadi di dalam makanan yang
diakibatkan oleh kelakuan mikroba, dihasilkan gas yan mudah dicium baunya.
Seperti yang ada pada prose pembuatan terasi ini, dihasilkan amoniak oleh
golongan bakteri proteolitik yakni Achromobacter
dan Flavobacterium. Dengan
demikian derajat keasaman atau pH dapat berubah dari tahap permulaan hingga
akhir fermentasi pembuatan terasi tersebut (Tarigan, 1988).
2.3. Peran Negatif Mikroba dalam
Mikrobiologi Pangan
Pertumbuhan mikroba pada pangan dapat menimbulkan
berbagai perubahan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Mikroba yang
merugikan misalnya yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan, dan yang
sering menimbulkan penyakit atau keracunan pangan (menghasilkan toksin).
Sebagai contoh adalah pertumbuhan jamur pada roti dan kacang-kacangan selama
penyimpanan, busuknya buah-buahan dan sayur-sayuran, penyakit tipus, diare,
toksin tempe bongkrek, botulinin,aflatoksin, dan lain-lain.
Mikroba
dapat masuk ke dalam pangan melalui berbagai cara, misalnya melalui air yang
digunakan untuk menyiram tanaman pangan atau mencuci bahan baku pangan,
terutama bila air tersebut tercemar oleh kotoran hewan atau manusia. Mikroba
juga dapat masuk ke dalam pangan melalui tanah selama penanaman atau pemanenan
sayuran, melalui debu dan udara, melalui hewan dan manusia, dan pencemaran
selama tahap-tahap penanganan dan pengolahan pangan. Dengan mengetahui berbagai
sumber pencemaran mikroba, kita dapat melakukan tindakan untuk mencegah masuknya
mikroba pada pangan.
Pangan yang
berasal dari tanaman membawa mikroba pada permukaannya dari sejak ditanam,
ditambah dengan pencemaran dari sumber-sumber lainnya seperti air dan tanah.
Air merupakan sumber pencemaran bakteri yang berasal dari kotoran hewan dan
manusia, termasuk di antaranya bakteri-bakteri penyebab penyakit saluran
pencemaan. Tanah merupakan sumber pencemaran bakteri-bakteri yang berasal dari
tanah, terutama bakteri pembentuk spora yang sangat tahan terhadap keadaan
kering. Menurut Nani (2010), Secara umum mikrobia yang terdapat pada tanah dan
air biasanya sama. Genus bakteri yang berasal dari tanah dan air misalnya Alcaligenes,
Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Corynebacterium, Enterobacter,
Micrococcus, Proteus, Pseudomonas, Serratia, Streptomyces, dan lain-lain.
Genus jamur yang berasal dari tanah adalah Aspergillus, Rhizopus,
Penicillium, Trichothecium, Botrytis, Fusarium, dan lain-lain.
Sebagian besar genus yeast berasosiasi dengan tanah dan tanaman.
Pada pangan
yang berasal dari hewan, mikroba mungkin berasal dari kulit dan bulu hewan
tersebut dan dari saluran pencernaan, ditambah dengan pencemaran dari
lingkungan di sekitarnya. Pangan yang berasal dari tanaman dan hewan yang
terkena penyakit dengan sendirinya juga membawa mikroba patogen yang
menyebabkan penyakit.
Tangan
manusia merupakan sumber pencemaran bakteri yang berasal dari luka atau infeksi
kulit, dan salah satu bakteri yang berasal dari tangan manusia, yaitu
Staphylococcus, dapat menyebabkan keracunan pangan. Selain itu orang yang
sedang menderita atau baru sembuh dari penyakit infeksi saluran pencemaan
seperti tifus, kolera dan disenteri, juga merupakan pembawa bakteri penyebab
penyakit tersebut sampai beberapa hari atau beberapa minggu setelah sembuh.
Oleh karena itu orang tersebut dapat menjadi sumber pencemaran pangan jika
ditugaskan menangani atau mengolah pangan.
Foodborne Disease adalah
Penyakit yang disebabkan kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen.
Dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Keracunan Makanan (Food Poisoning), Timbul akibat
memakan makanan yg mengandung toksin. Sel mikroorganisme belum tentu masih
hidup.
2. Infeksi Makanan (Food Infection), Timbul akibat
memakan makanan yg mengandung mikroorganisme patogen.
2.4. Contoh-contoh Keracunan Makanan
oleh Mikroorganisme
1. Keracunan
makanan oleh Staphylococcus
Staphylococcus adalah
bakteri gram positif, berbentuk kokus, non motil, dan mampu memfermentasi
manitol, menghasilkan koagulase, dan mampu menghasilkan enterotoksin.
Enterotoksin adalah zat toksik yang dihasilkan bakteri ini, dikenal ada 5 macam
enterotoksin yaitu A,B,C, D, dan E. Tidak semua Strain S. aureus menghasilkan enterotoksin namun semua strain berpotensi
menyebabkan keracuanan, 62 % isolat yang diperoleh dari ayam menghasilkan
enterotoksin A. Keracunan makanan oleh Salmonella.
Ada tiga varietas yang berbeda dari bakteri salmonella. (Salmonella
typhimurium, salmonella suis kolera, salmonella enteritidis) Bakteri ini
terdapat pada susu, produk susu dan telur. Gejala keracunan makanan ini
termasuk mual, muntah dan diare.
Demam juga umum. S.
aureus mampu menghasilkan enterotoksin B, dan produksi akan lebih cepat
pada keadaan aerobik namun akan menurun apabila konsentrasi HNO2 meningkat.
Gejala klinis keracunan Staphylococcus
umumnya muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon
individu terhadap toksin, jumlah toksin yang termakan, dan status kesehatan
korban. Sejumlah kecil sel bakteri S.aureus
yang menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan mampu menimbulkan gejal
gastroenteritis pada manusia. Jumlah minimal enterotoksin yang dapat
menimbulkan sakit pada manusia adalah 20 ng dan toksin ini menyebabkan
peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala klinis.
2. Keracunan
makanan oleh Clostridium
Clostridium adalah
bakteri gram positif (+), anaerob yang menghasilkan endospora. Salah satu
contoh bakteri Clostridium yang
menyebabkan terjadinya keracunan yaitu Clostridium botulinum. Clostridium
botulinum adalah nama bakteri yang biasanya ditemukan di dalam tanah dan
sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Clostridium botulinum merupakan
bakteri gram positif, membentuk endospora oval subterminal dibentuk pada fase
stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan anaerobik. Ada 7 tipe
bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi, yaitu
tipe A, B, C, D, E, F. Dan G.
Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah tipe A, B, E,
dan F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air dikurangi
hingga 30 persen. Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein
yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini
sudah cukup menyebabkan kematian. Toksin dapat diserap dalam usus kecil dan
melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin ini yang penting adalah labil
terhadap panas. Toksin tipe A akan in aktif oleh pemanasan pada suhu 80 ºC
selama 6 menit, sedangkan tipe B pada suhu 90 ºC selama 15 menit. Spora bakteri
ini sering ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan laut.
Organisme berbentuk batang tumbuh baik dalam kondisi rendah oksigen. Bakteri
dan spora sendiri tidak berbahaya, yang berbahaya adalah racun atau toksin yang
dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh.
Gejala-gejala penyakit botulisme yaitu pandangan
ganda, kelopak mata terkulai, bicara melantur, mulut kering, pandangan kabur,
kesulitan menelan, kelumpuhan otot. Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak
lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot lisut. Jika gejala
penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan
gangguan pernafasan.
3. Infeksi
oleh Salmonella
Salmonella termasuk ke dalam famili Enterobactericea
yang merupakan bakteri fakultatif anaerob gram negatif berbentuk batang yang
bersifat motil karena mempunyai flagel serta tidak membentuk spora (Edinger dan
Pasculle 2006). Salmonella dapat menimbulkan infeksi pada saluran
pencernaan (gastrointestinal tract) & tifus (S. typhi).
Bakteri Salmonella
masuk ke tubuh penderita melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri
ini. Akibat yang ditimbulkan bila terinfeksi bakteri Salmonella adalah
peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya dinding usus.
Akibatnya penderita akan mengalami diare, sari makanan yang masuk dalam
tubuh tidak dapat terserap dengan baik sehingga penderita akan tampak lemah dan
kurus. Racun yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella menyebabkan
kerusakan otak, organ reproduksi wanita bahkan yang sedang hamilpun dapat
mengalami keguguran. Satwa yang bisa menularkan penyakit salmonella ini
antara lain primata, iguana, ular, dan burung.
Kebersihan adalah kunci dari pencegahan. Mencuci
tangan dengan sabun dan air panas, terutama setelah menangani telur-telur,
unggas, dan daging mentah kemungkinan besar mengurangi kesempatan untuk
infeksi-infeksi. Penggunaan sabun-sabun antibakteri telah direkomendasikan oleh
beberapa penyelidik-penyelidik.
Dengan menggunakan air minum yang dirawat dengan
chlorine, hasil yang dicuci, dan dengan tidak memakan makanan-makanan yang
setengah matang seperti telur-telur, daging atau makanan-makanan lain,
orang-orang dapat mengurangi kesempatan dari paparan pada Salmonella.
Menghindari kontak langsung dengan carriers hewan dari Salmonella (contohnya,
kura-kura, ular-ular, babi-babi) juga mungkin mencegah penyakit.
Perawatan untuk demam-demam typhoid atau enteric
dengan septicemia adalah tidak kontroversial. Antibiotik-antibiotik, seringkali
diberikan secara intravena, diperlukan. Jenis-jenis Salmonella ini juga harus
diuji untuk ketahanan (resisten)obat antibiotik karena beberapa jenis-jenis
Salmonella telah dilaporkan menjadi resisten pada banyak antibiotik-antibiotik
(juga diistilahkan MDR Salmonella). Antibiotik-antibiotik yang biasanya dipilih
untuk merawat infeksi-infeksi Salmonella adalah fluoroquinolones dan
cephalosporins.
4. Keracunan
Makanan oleh Escherichia coli
Eschericia
coli merupakan mikroba norrmal dalam tubuh manusia. E.
coli patogen dapat menghasilkan racun (toksin) yang berbahaya dalam jumlah
besar. Racun Ini adalah racun-racun yang menyebabkan diare berdarah, gangguan
pencernaan, sindrom hemolitik uremik, gagal ginjal dan komplikasi medis
lainnya. Patogen E. coli dapat menyebabkan Penyakit ringan sampai
penyakit yang mengancam nyawa, tetapi ini tergantung pada tempat infeksi dan
kekuatan pasien.
Infeksi oleh E. coli dikaitkan dengan keracunan
makanan, diare, penyakit saluran kemih, pneumonia, bakteremia, meningitis
neonatal dan colangitis. Gejala E. coli adalah diare, kram perut, mual
dan muntah, mirip gejala pencernaan biasa. Bila ini terjadi pada anak-anak dan
orang-orang dengan imunitas yang lemah, hal ini dapat memperburuk diare parah
dan masalah ginjal.
Bakteri E.
coli dibagi menjadi 4, yaitu:
Ø
Enterohemorhagic E. coli
(EHEC), Menghasilkan verotoksin. Menyebabkan hemorhagic diarhea, gagal ginjal
Ø
Enterotoxigenic E. coli
(ETEC), Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah jenis Escherichia coli
dan bakteri penyebab utama diare di negara berkembang. Setiap tahun, sekitar
210 juta kasus dan 380.000 kematian terjadi, terutama pada anak-anak akibat
ETEC.
Ø
Enteropathogenic E. coli
(EPEC), Mengakibatkan diare, tapi tidak menghasilkan Enterotoksin. Umumnya
menyerang bayi atau anak kecil.
Ø
Enteroinvasive E. coli
(EIEC), menyebabkan diare dan demam tinggi. EIEC sangat invasif, dan mereka
memanfaatkan protein adhesin untuk mengikat dan masuk ke sel-sel usus. Mereka
tidak menghasilkan racun, tetapi sangat merusak dinding usus melalui
penghancuran sel mekanis.
5. Keracunan
makanan oleh kapang (jamur)
Cemaran beberapa jenis kapang seperti Aspergillus sp., Fusarium sp., Penicillium sp., dan Mucor sp. Dapat ditemui pada makanan dan bahan-bahan penyusunnya
terutama jagung. Gangguan atau penyakit bukan hanya disebabkan oleh kapang,
tetapi juga oleh toksin yang dihasilkan kapang tersebut. Beberapa faktor yang
mendukung terjadinya kontaminasi kapang dan toksin pada makanan terutama adalah
kelembapan dan suhu. Di Indonesia, Aspergillus
sp. khususnya A. flavus merupakan
kapang yang dominan mencemari makanan dan bahan penyusun pangan. Pencegahan
cemaran kapang dan mikotoksin bisa dilakukan melalui deteksi dini dengan
inspeksi visual pada makanan dan bahan pangan, serta manajemen yang baik adalah
pilihan terbaik dibandingkan dengan pengobatan.
Mikotoksikosis
adalah kejadian keracunan karena korban menelan pakan atau makanan yang
mengandung toksin yang dihasilkan berbagai jenis kapang. Ada lima jenis
mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan, yaitu aflatoksin, fumonisin,
okratoksin, trikotesena, dan zearalenon. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh Aspergillus
flavus dan A. parasiticus.
Belum ada pengobatan yang efektif dan ekonomis untuk keracunan mikotoksin.
Faktor ekonomis menjadi pertimbangan peternak untuk melakukan pengobatan akibat
keracunan mikotoksin. Beberapa pengikat mikotoksin seperti alfafa, sodium
bentonit, zeolit, arang aktif, dan kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae)
dapat digunakan untuk mengurangi racun. Obat tradisional seperti sambiloto dan
bawang putih dapat pula digunakan. Sebaiknya selain diberi pengikat mikotoksin,
hewan juga perlu diberi asupan elektrolit, vitamin, dan gizi yang cukup.
Dari paparan di atas kita mengetahui bahwa mikroba dapat berperan negatif
ketika mikroba tersebut memberikan efek yang merugikan bagi manusia. Untuk
mengatasi hal tersebut dapat diupayakan dengan proses pengawetan dan pengemasan
makanan.
2.5 Pengawetan Makanan
Cara dan usaha mengawetkan makanan telah lama dikenal
dan dilakukan oleh penghuni daerah dingin maupun daerah panas. Hal demikian
dilakukan agar dapat mengatasi musim dingin dan musim paceklik. Cara paling
murah dan paling sederhana ialah dengan cara pengeringan. Pengeringan dapat
dilakukan dengan cara penjemuran di bawah terik matahari atau pemanasan dengan api.
Contohnya kacang-kacangan, padi, kerupuk dll dijemur terlabuh dahulu sampai
kering kemudian disimpan di tempat yang kering pula. Jelaslah, makanan yang
mengalami pengeringan seperti contoh tersebut, merupakan kondisi yang tdak baik
bagi pertumbuhan bakteri dan jamur.
Masyarakat yang lebih maju memilki cara lain untuk
mengawetkan makanan dan usaha-usaha dalam hal ini merupakan tugas teknologi
makanan. Mikroorganisme-mikroorganisme memiliki kepekaan terhadap konsentrasi
garam dapur yang berbeda-beda. Maka secara eksperimental dapat diketahui bahwa
pada umumnya mikroorganisme tidak dapat hidup dalam larutan NaCl 5-30%.
Bakteri yang suka garam (halofil) pun mati dalam konsentrasi garam 30%. Selain
itu, orang juga bias mengawetkan makanan dengan menggunakan gula.
Pada umumnya bakteri mati pada larutan gula, 45%, akan
tetapi bakteri yang osmofil bias tahan dalam larutan gula 60%. Bila ingin
mengawetkan dengan menggunakan asam-asaman, maka perlu diketahui pHnya harus
kurang dari 6 atau lebih dari 8. Jamur tidak dapat tumbuh dalam lingkungan basa
lebih dari pH 8. Banyak jenis makanan cukup dipasteurisasikan lebih dahulu
sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Pasteurisasi tidak membunuh spora, akan
tetapi dengan proses ini rasa dan aroma makanan tidak akan banyak berkurang. Penyimpanan
makanan dapat dilakukan di dalam lemari es dimana suhunya kira-kira 2-80C
(Dwidjoseputro, 1989).
2.6. Pengemasan Makanan
Controlled Atmosphere Packaging ( CAP )
adalah proses evakuasi oksigen sesempurna mungkin dari proses vakum kemudian
digantikan dengan nitrogen atau karbon dioksida. CAP dapat digunakan untuk
pengemasan daging proses iris yang sulit dipisah-pisahkan bila dikemas
vakum. Sedangkan pengemasan atmosfir termodifikasi (MAP) adalah pengemasan
produk dengan menggunakan bahan kemasan yang dapat menahan keluar masuknya gas
sehingga konsentrasi gas di dalam kemasan berubah dan ini menyebabkan laju
respirasi produk menurun, mengurangi pertumbuhan mikrobia, mengurangi kerusakan
oleh enzim serta memperpanjang umur simpan. MAP banyak digunakan dalam
teknologi olah minimal buah-buahan dan sayuran segar serta bahan-bahan pangan
yang siap santap (ready-to eat).
Ide
penggunaan kemasan aktif bukanlah hal yang baru, tetapi keuntungan dari segi
mutu dan nilai ekonomi dari teknik ini merupakan perkembangan terbaru dalam
industri kemasan bahan pangan. Keuntungan dari teknik kemasan aktif adalah
tidak mahal (relatif terhadap harga produk yang dikemas), ramah lingkungan,
mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikrobia pada bahan pangan sangat dibedakan menjadi 2 faktor, yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang
terdapat pada bahan pangan, contoh faktor intrinsik adalah pH, aktivitas air
(aw), potensial oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi, senyawa antimikrobia,
dan struktur biologis. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang
berasal dari luar bahan pangan, contoh faktor ekstrinsik adalah suhu
penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative humidity) lingkungan, dan
komposisi gas.
2.
Peranan positif dari mikroba adalah
sebagai salah satu bahan pembutan makanan berfermentasi, seperti tempe, tape,
nata de coco, dan sebagainya
3.
Peranan negatif mikroba adalah ada
mikroba yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan, dan yang sering
menimbulkan penyakit atau keracunan pangan (menghasilkan toksin).
3.2
Saran
1.
Sebelum mengkonsumsi makanan,
sebaiknya konsumen mengecek keadaan makanan, apakah makanan tersebut masih
layak dimakan ataukah tidak, layak di sini dalam artian terdapat mikroba yang
merugikan atau tidak. Karena makanan yang telah ditumbuhi miroba yang
merugikan, akan bersifat racun dan membahayakan bagi kesehatan
2.
Janganlah selalu beranggapan bahwa
semua mikroba adalah merugikan, namun ada beberapa mikroba yang bermanfaat
dalam pembuatan makanan berfermentasi
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto,
Moch Agus Kresno. 2002. Mikrobiologi Terapan. Malang. Penerbit : Universitas
Muhammadiyah Malang.
Hanafi. Linda. 2011. Mikrobiologi Pangan. Dari http://linda-haffandi.blogspot.com/2011/12/mikrobiologi-pangan.html (26/05/15)
Iqbalali.2008.
Peran Mikroorganisme dalam Kehidupan. Dari http://iqbalali.com/2008/02/18/peran-mikroorganisme-dlm-kehidupan/ (26/05/15)
Volk, Wesley
A dan Wheeler, Margaret F. 1990. Basic Microbilogy fifth edition. Jakarta.
Penrbit Erlangga. (diterjemahkan oleh Soenartono Adisoemarto. 1990.
Mikrobiologi Dasar edisi kelima jilid 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar